Minggu, 16 November 2014

Abu Singa: Operasi Mata Helang Akan Dilancarkan

Permasalahan Aceh kini semakin berlarut hingga masyarakat hilang kepercayaan terhadap siapapun, hingga semangat merdeka kian memuncak dan tertahan tiada tempat mengadu.

Setelah wali Negara meninggal dunia seluruh rakyat dan bekas pejuangan semakin tidak terurus, Kini ASNLF kembali terbentuk sebagai wadah rakyat untuk kemerdekaan, seperti yang kita ketahui bahawa cita-cita untuk merdeka tidak akan pernah hilang sampai kapanpun karena itu adalah semboyan para syuhada syuhada yang telah syahid terlebih dulu.

Kini dalam tubuh ASNLF tidak calang-calang orang dan setiap anggotanya cukup terlatih dengan berbagai keahlian politik, perang, dan lain-lain. menurut perubahan zaman yang pastinya memerlukan keahlian tertentu dari berbagai bidang, generasi kini semakin memuncak keinginannya untuk menuntut apa yang terbenak dalam hatinya yang tak pernah mereka kecapi sebagai bangsa yang sudah pernah merdeka.

Mari kita ikuti wawancara kami dengan Salah satu komando ABU SINGA!

APA YANG AKAN DILAKUKAN KEDEPAN INI ?

Sebagai bangsa yang menginginkan kemerdekaan yang ditunda oleh perjanjian MoU ****** oleh sekelompok orang....! Pastinya perlu kita ketahui sebuah kemerdekaan itu haruslah terisi oleh semua rakyat namun kesadaran itulah yang menjadi halangan,! namun kita akan membenahi semua itu supaya masyarakat lebih berani dengan hak dan suaranya. perlu kita ketahui bahawa suara dan hak bangsa yang menuntut kemerdekaan itu dilindungi oleh hukum international, akibatnya dari kurang pengetahuan mereka tidak pernah tahu akan hal itu namun kita akan membenahi itu semua.

Kita akan mengupayakan OPERASI MATA HELANG di jalankan semaksimal mungkin dan teliti, kerana ini adalah satu fase yang yang tidak mengorbankan bangsa kita sendiri dan selamat untuk mengerjakan tugas kemerdekaan!

APA ITU OPERASI MATA HELANG ?

Maaf saya tidak boleh memberitahunya,! Karena Itu adalah kerja KOMANDO !
untuk kenyamanan anda operasi ini tidak ada kontak senjata malah kami tidak menggunakan senjata.

ADAKAH KOMANDO ANDA HANYA TERISI ORANG TERTENTU MISALNYA BEKAS GAM ?

Tidak...tidak..! Komando kami terisi dari siapa saja..atas nama bangsa aceh yang tetap bepegang pada deklarasi 1976. Mahasiswa rakyat dan sebagainya kami tidak memandang mereka orang berpangkat atau apapun dia karena itu sangat fatal. Sedikit tentang bekas GAM.. TNA itu tidak pernah meyerah..! yang menyerah itu GAM gerakan! anda harus bisa membedakan yang mana tentara dan yang mana gerakan..! Ok so bagi kita semua sama bahu yang membedakan adalah pengetahuan ilmunya..

Bersambung....


Senin, 10 November 2014

Acheh Sumatra National Liberation Front

STATISTIK ACEH

Status: Wilayah Okupasi
Penduduk: 4,25 Juta
Luas: 236.803 KM², terdiri dari 119 pulau, 73 sungai besar dan 2 danau
Ibukota: Banda Aceh
Bahasa: Aceh
Agama: Islam (Suni)

PERWAKILAN UNPO

Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF)

ASNLF bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan negara Aceh dan membebaskan rakyatnya dari segala jenis kolonialisme asing melalui norma hukum yang sesuai dengan nilai orang Aceh serta hukum internasional. ASNLF berjuang untuk menggunakan hak mereka untuk penentuan nasib sendiri tanpa campur tangan dari Indonesia atas status politiknya dan memacu perkembangan ekonomi, sosial, serta pengembangan budayanya. ASNLF berjuang untuk mendapatkan dukungan masyarakat internasional dalam masalah dekolonisasi Aceh yang sesuai dengan prinsip dan prosedur resolusi PBB.

Sebagai dampak dari kegawatan di Aceh, sebagian besar anggota Aceh Merdeka mendirikan kembali ASNLF di luar Aceh, banyak diantaranya pengungsi Aceh yang berada di Amerika Serikat, Norwegia dan Belanda.

GEOGRAFI

Aceh adalah ‘wilayah khusus' di Indonesia yang terletak di ujung utara pulau Sumatera.
Luas wilayah Acheh diperkirakan 236,803 km², dan terdiri dari 119 pulau, 73 sungai besar dan 2 Danau. Acheh berlokasi strategis di Selat Malaka, sebuah rute dan portal perdagangan penting ke Asia Tenggara, dan Samudera Hindia ke Selatan. Ibukota wilayah Acheh adalah Banda Acheh, terletak persis dimuara Krueng Aceh dan sungai krueng Daroy yang dihubungkan ke Samudra Hindia, serta merupakan pusat administrasi dan perdagangan dalam kawasan yang luas. Minyak bumi dan gas alam di Sumatra mengandung cadangan yang sangat besar, diekspor melalui pemerintahan di Banda Aceh.

PENDUDUK

Acheh memiliki populasi sekitar 4 juta penduduk, yang mewakili dua persen dari total penduduk Indonesia. Ada berbagai kelompok etnis yang bermukim di Acheh, dengan kelompok etnis utamanya etnis Acheh. Kelompok etnis lain termasuk etnis Gayo, Alas, Tamiang; etnis Aneuk Jamee, etnis Kluet dan etnis Simeulue. Ada juga populasi kecil keturunan bangsa Arab dan Eropa. Mayoritas etnis Aceh berada di kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, sedangkan kelompok etnis minoritas berada di Tengah dan Aceh Selatan.

LATAR BELAKANG SEJARAH

Dari awal abad ke-16, Acheh telah terlibat dalam perebutan kekuasaan secara terus menerus untuk mendapatkan penentuan nasib sendiri dan hak untuk diakui sebagai negara merdeka. Pertama dengan Portugal, kemudian dengan Inggris dan Belanda pada abad ke-18 dan saat ini,Acheh melawan pemerintah Indonesia di Jakarta, Acheh terus melanjutkan perjuangannya untuk melawan kekuasaan kolonial dan aturan asing dengan berbagai tingkat keberhasilan.

Pada tahun 1824 perjanjian Anglo-Belanda ditandatangani, dimana Inggris menyerahkan  kekuasaan kolonialnya di Sumatra kepada Belanda. Inggris mengklaim Acheh sebagai bagian dari daerah jajahan mereka, meskipun Inggris hanya memiliki sedikit kontrol yang nyata atas Kesultanan Acheh. Awalnya di bawah perjanjian Anglo-Belanda, Belanda setuju untuk menghormati kemerdekaan Kesultanan Acheh. Namun pada tahun 1871, Belanda menyerbu Acheh, dengan tidak ada bantahan dari Inggris.

Pemerintah kolonial Belanda mendeklarasikan perang terhadap Acheh pada tanggal 26 Maret 1873, tetapi mereka tidak pernah menguasai sepenuhnya wilayah Acheh dan mereka menyatakan gagal dalam usaha untuk menundukkan Acheh pada tahun 1893. Alih-alih mengakui kekalahannya, Belanda justru menggunakan kekuatan yang besar untuk menguasai kontrol penuh terhadap Acheh, yang diperoleh pada tahun 1904. Dalam menghadapi kekuasaan Belanda, jumlah korban masyarakat Acheh sangat besar dan mereka terus bergerilya melawan Belanda sampai Hindia Belanda mencapai kemerdekaan setelah dijajah oleh Jepang dan akhir Perang Dunia ke-II.
Pada tanggal 27 Desember 1949, di bawah tekanan yang berat dari berbagai negara, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Negara Indonesia. Setelah kemerdekaan itu, sejumlah pasukan Indonesia dikirimkan untuk mencaplok Acheh, hal ini menyebabkan kemarahan warga Aceh yang menganggap sebagai pendudukan. Sejak itu, telah terjadi konflik bersenjata secara berkala antara pasukan militer Indonesia dan gerakan angkatan lokal yang berjuang untuk melakukan pemisahan dari pemerintah pusat.
Pada tahun 1959, pemerintah Indonesia menetapkan Acheh sebagai status "wilayah khusus " oleh pemerintah pusat di Jakarta.  Pemberian otonomi ini menjadikan Aceh lebih besar statusnya dibandingkan daerah lain di Indonesia. Pemerintah daerah diberdayakan untuk membangun sistem hukum yang independen dari pemerintah nasional.
Pada tahun 1976, Acheh mendeklarasikan kemerdekaannya, dan sejak saat itu,  Acheh telah berjuang melawan pemerintah Indonesia untuk pengakuannya yang mengakibatkan ribuan masyarakat Acheh meninggal, dan kejahatan keji terhadap kemanusiaan dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pada Desember 1976, berdirinya Gerakan Acheh Merdeka (GAM), yang mengklaim bahwa orang Acheh tidak dikonsultasikan atas keputusan wilayahnya untuk menjadi bagian Indonesia, dan oleh karena itu munculnya perjuangan untuk mengembalikan kedaulatan Acheh.  Selain pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Acheh, perjuangan telah memicu kontrol oleh pemerintah Indonesia terhadap pendapatan sumber daya alam yang dihasilkan provinsi Acheh.
Selama tahun 1990-an ribuan pasukan memasuki Acheh untuk menghentikan kekuatan angkatan pemberontak, yang mengakibatkan konflik dan korban yang lebih banyak. Akhirnya pada tahun 2002, pemerintah Indonesia dan GAM setuju untuk melakukan kesepakatan perdamaian. Dalam kesepakatan perdamaian ini, pemerintah Indonesia mengatakan bahwa Acheh bisa memiliki kebebasan dalam pemilihan umum pemerintahan otonom  dan juga akan mendapatkan 70% dari pendapatan yang dihasilkan dari sumber daya minyak.
Mereka (Indonesia) juga menyatakan bahwa akan secara bertahap menarik pasukan pemerintah, yang memiliki kekuasaan kuat di wilayah Acheh. Sebagai imbalannya, para pemberontak diminta untuk melupakan tuntutan mereka untuk kemerdekaan secara penuh dan  meletakkan senjata mereka. Tidak ada pihak yang menjalankan keseluruhan isi kesepakatan sehinga akhirnya negosiasi perjanjian perdamaian usai tak lama setelah itu.

(Kemudian) Pemerintah Indonesia segera meluncurkan serangan militer penuh, mengumumkan darurat militer di provinsi Acheh dengan mengirim ribuan pasukan untuk tetap mengontrol Acheh.
Pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi tsunami raksasa, yang dipicu oleh gempa bumi di Samudra Hindia sehingga menghancurkan provinsi Acheh, menewaskan 120.000 orang hingga meluluh-lantakkan rumah, infrastruktur, dan habitat alam. Atas perhatian internasional dan bantuan diberikan oleh masyarakat internasional, fokus baru mucul terhadap nasib Acheh.
Segera setelah kerusakan akibat Tsunami, pada 28 Desember 2004, GAM mengumumkan gencatan senjata dan permusuhan agar memungkinkan pengiriman bantuan kepada daerah yang dilanda konflik.
Pada lain pihak, pemeritah Indonesia melonggarkan sementara pembatasan keamanan untuk memungkinkan upaya penyelamatan di daerah yang terkena bencana. Pada 15 Agustus 2005, sebuah nota kesepahaman yang dimediatori oleh mantan Presiden Findlandia Marti Ahtisari ditandatangani, dimana kedua belah pihak setuju untuk menghentikan segala permusuhan segera, GAM setuju untuk melucuti senjatanya dan Pemerintah berjanji untuk menarik semua tentara dan polisi non lokal pada akhir tahun 2005. Dalam konteks ini, Pemerintah sepakat untuk memfasilitasi status otonomi yang lebih besar untuk Aceh, termasuk pembentukan partai lokal dan implementasi hukum syariat Islam; bahagian ini adalah tema yang sangat diperdebatkan dalam negosiasi sebelumnya. Pada masalah tentang tidak meratanya distribusi pendapatan, ditetapkan bahwa 70% dari pendapatan sumber daya alam lokal akan diberikan kepada Aceh. MoU juga mengamanahkan agar dibentuknya pengadilan HAM serta komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh, tetapi setelah 9 tahun sejak perjanjian damai ditanda tangani, dan ternyata hanya secuil yang telah dilakukan.
Sebuah refleksi utama dari MoU adalah pemilihan kepala daerah, dimana untuk pertama kalinya, seorang kandidat daerah, termasuk anggota GAM, menguasi seluruh posisi termasuk kursi Gubernur.  Kendati diyakini daerah baru yang stabil untuk menjadi tonggak contoh dalam pemilu, dalam perjalanan pemilu terbaru pada 2012 tersebut ditandai dengan korupsi, ancaman dan intimidasi.

Sebuah refleksi utama dari MoU adalah pemilihan kepala daerah, dimana untuk pertama kalinya, seorang kandidat daerah, termasuk anggota GAM, menguasi seluruh posisi termasuk kursi Gubernur.  Kendati diyakini daerah baru yang stabil untuk menjadi tonggak contoh dalam pemilu, dalam perjalanan pemilu terbaru pada 2012 tersebut ditandai dengan korupsi, ancaman dan intimidasi.

BAHASA

Sekitar 3 juta orang di bagian ujung utara pulau Sumatera berbicara bahasa Acheh, bahasa yang sama rumpun dengan Austronesia/Malayo-Polynesian. Bahasa Acheh memiliki keterkaitan terdekat dengan bahasa Cham, sebuah bahasa yang digunakan terutama di Vietnam, tetapi hanya sedikit bukti untuk menjelaskan hubungan yang erat antara bahasa Acheh dan bahasa Cham.Bahasa lisan lainnya yang terdapat di Provinsi Acheh adalah Bahasa Kluet, Gayo, Alas dan Tamiang, yang merupakan variasi dari bahasa Melayu. Bahasa Acheh Modern sangat dipengaruhi oleh bahasa Belanda, yang berasal dari kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia dari akhir abad ke -18 sampai pertengahan abad ke -19. Bahasa Acheh (sebelumnya) ditulis secara resmi dalam tulisan (alphabet) Arab.

BUDAYA DAN AGAMA

Masyarakat Acheh sebagian besarnya merupakan petani yang mengkonsumsi makanan yang terdiri dari nasi dengan daging, ikan, atau sayur-sayuran; kecuali daging babi, yang merupakan jenis makanan yang dilarang untuk Muslim. Pakaian tradisional untuk pria dan wanita adalah sarung, yang merupakan sebuah rok tenunan yang berwarna-warni. Rumah umumnya dibangun dari bambu atau papan, dan dibangun berbentuk panggung supaya letakknya lebih tinggi dari tanah. Kebanyakan seni, musik, tari dan budaya masyarakat Acheh dipengaruhi oleh agama Islam, yang diyakini pertama kali memasuki Asia Tenggara melalui Acheh pada abad ke-8 Masehi. Pada satu sisi, Banda Acheh, ibukota provinsi Aceh, disebut sebagai 'Serambi Mekah' karena Acheh merupakan sebuah tempat tujuan yang populer bagi wisatawan, cendikiawan, dan pedagang Muslim. Sekitar 99% dari penduduk Acheh adalah Muslim.

MASALAH LINGKUNGAN

Aceh memiliki salah satu cadangan terbesar di Indonesia seperti minyak dan gas alam, sebagai konsekuensi daripada hadrinya sejumlah perusahaan multinasional di Aceh. Penggundulan hutan dan degradasi lahan sebagai akibat dari ekstraksi  sumber daya alam tetap menjadi masalah utama di Aceh. Begitu pula, faktor letak geografis mempengaruhi terjadi bencana di Aceh. Selain ancaman dari Tsunami dan gempa bumi, gejala alam seperti banjir periodik, kekeringan yang parah, meletus gunung berapi, dan kebakaran hutan merupakan bencana alam lainnya.

EKONOMI

Sumber perekonomian utama masyarakat Acheh adalah minyak bumi, gas alam, pupuk dan pertanian.  Tanaman komersial di Aceh adalah kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, dan kakao. Acheh juga memiliki sumber daya alam yang belum dimanfaatkan. Sejak berakhirnya konflik, dan program rekonstruksi diberlakukan setelah tsunami 2004, struktur perekonomian telah bergerak menuju peran yang lebih dominan untuk sektor jasa, sementara pangsa di sektor minyak dan gas terus menurun. Kemiskinan di Aceh tetap secara signifikan lebih tinggi daripada di daerah lain di Indonesia.

PERSPEKTIF ANGGOTA UNPO

ASNLF berharap UNPO dapat membela mereka dalam mencapai kemerdekaan karena anggota UNPO lainnya memiliki tujuan serupa sehingga berharap untuk berkerja sama. ASNLF pula berhasrat UNPO dapat menuntun untuk menyambung aspirasi mereka kepada komunitas internasional serta membantu dalam program pelatihan untuk membuat ASNLF dapat berkerja lebih efektif disebabkan tujuan ASNLF utamanya menggunakan pendekatan hukum untuk membebaskan Aceh, juga menghindari kekerasan atau tercipta konflik lainnya.

Sabtu, 08 November 2014

Pantang larang menurut kepercayaan bangsa aceh

Pantang merupakan sebuah peraturan sekatan terhadap sesuatu yang tergolong pantang larang untuk dilakukan. Melanggar peraturan pantang akan menimbulkan akibat buruk. Ada kalanya pantang digunakan sebagai alat untuk mendidik anak. Tulisan ini cuba mengupas beberapa pantang yang masih berlaku dalam masyarakat Aceh.

Dalam pergaulan sehari-hari, pantang sering menjadi koridor dalam bersikap. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam hadih maja pantang ureueng Aceh, ta carot ta teunak, ta trom ta sipak, ta Peh Ulee ta cukèh keuéng, sinan Ureueng lè binasa. Hadih maja ini dengan jelas menjelaskan apa yang tidak boleh dilakukan dalam pergaulan. Bila pantangan ini dilarang, maka akan melahirkan tersinggung yang boleh mengakibatkan munculnya tindakan kekerasan.

Bagi masyarakat Aceh sangat pantang membawa-bawa nama keluarga dalam urusan tertentu, apa lagi dalam hal-hal yang tidak baik. Jangan menyinggung keluarga seseorang bila tidak ingin menghadapi masalah. Tentang ini digambarkan dalam hadih maja yang sama dengan yang di atas tetapi dengan versi akhir yang berbeza yakni: pantang ureueng Aceh, ta carot ta teunak, ta trom ta sipak, ta teuöh Biek ngôn bangsa, Nyan pih pantang raya.

Dalam bersikap, orang Aceh juga pantang plin plan. Mengenai ini ada beberapa versi hadih maja yang menjelaskannya seperti: meunyo krèuh beu butoi krèuh, beulageè Kayee Jeut keu tamèh rumoh, meunyo leumöh beu Butoi leumöh, beulageè Taloe peuikat bubong rumoh. Lebih tegasnya lagi diungkapkan dalam hadih maja singèt bèk, Roe bah beu abeh atau hadih maja dari pada crah, leubèh get beukah.

Pantang juga mengajar seseorang untuk mengetahui kadarnya dalam kehidupan. Seseorang tidak boleh membuang kadarnya (bèk bèoh kada) sebaliknya juga pantang bersikap yang bukan kadarnya (bèk seunöh kada). Intinya, seorang rakyat biasa harus tahu diri untuk tidak bersikap seperti raja, bèk LAGee si deuék keu bu, si hansép breuh bu, si hantrôk napsu.

Selain itu pantang bagi seseorang melanggar adat peninggalan leluhur (endatu). Pelanggaran terhadap undang-undang adat akan membuat orang tersebut terkucilkan. Tentang ini tersurat dalam hadih maja Böh malairi ie pasan surot, adat Datok nini, han jeut ungki, beutaturôt.

Pantang untuk Tujuan Mendidik
Banyak pantang yang digunakan untuk mendidik anak berlaku sopan serta beretika dalam pergaulan dan perbuatannya sehari-hari. Pantangan-pantangan itu digambarkan akan memberikan kesan buruk bila dilarang, meski pada kenyataannya kesan buruk itu tidak akan berlaku secara logik. Pada intinya, pantangan-pantangan itu digunakan untuk tujuan pendidikan.

Berikut ini beberapa contoh pantangan itu. Seorang anak pantang tidur di kuburan, jika pantang ini dilarang maka ayahnya akan mati. Bila anak tidur tengkurap dan kakinya diangkat, maka ibunya yang akan mati. Ini juga hanya pantangan yang diberikan untuk mendidik anak agar bertingkah laku baik.

Meminta kembali barang yang diberikan kepada orang lain akan membuat siku berkurap, bèk lakee pulang, inteuék meupura singkei merupakan perkataan yang sering diucapkan untuk mengingat pantangan ini pada seorang anak. Melemparkan beras ke dalam mulut akan membuat gigi menjadi busuk. Ini pantang yang sering diucapkan kepada anak-anak yang suka makan beras (muek breuh).

Seorang anak juga diajar untuk bertutur kata yang sopan melalui pantang. Risiko pelanggaran terhadap pantang yang di luar fikiran membuat seorang anak menurutinya. Mereka "ditakuti" dengan kesan buruk yang akan timbul bila melakukan kesalahan, seperti pantang dalam hadih maja bèk éh di leuéh, dilingka kleuéng mate ma. Pada kenyataannya sangatlah tidak mungkin anak yang tidur di laman bila muncul helang di langit mengelilingi akan membuat ibu si anak meninggal. ini hanya usaha untuk membuat si anak tidak main kotor. Pantang yang sejenis juga terdapat dalam hadih maja, bèk peugah haba meukah-Kei, timoh iku jeut keu Asei.

Pantang Bagi Gadis
Bagi gadis juga berlaku adat pantang yang tak boleh dilanggar. Seorang gadis dianggap tabu bila terlalu dominan dalam urusan asmara menuju jenjang pernikahan. Dalam artian seorang gadis harus menjaga batas-batas tertentu dalam menjalin hubungan asmaranya. Pantangan ini digambarkan dalam hadih maja hana mon mita tima, yang bermakna tidak ada telaga mencari timba. Ini hanya tamsilan perempuan sebagai sumur dan lelaki sebagai timba. Lelakilah yang harus mendekati wanita, bukan sebaliknya. Lamaran untuk berkahwin harus datang dari pihak lelaki, tidak boleh dari perempuan. Bila pantangan ini diabaikan, maka si perempuan akan dianggap "murahan" dan boleh dicap "menjual diri".

Selain itu pantang bagi gadis melawat atau menghadiri kenduri kematian (seuneujoh) di desa lain. Mereka hanya boleh datang ke kenduri kematian di kampung saja untuk membantu. Para perempuan yang mendatangi acar seunujoh semuanya sudah berkahwin. Hal ini digambarkan dalam hadih maja, kéurija hudép, keroja mate, han geukheun lè aneuék dara. Maksudanya, bila sudah melawat kenduri kematian, maka perempuan itu bukanlah gadis.

Pantang Bagi Suami Isteri
Bagi wanita hamil juga berlaku pantang, di antarnya adalah tidak boleh duduk di tangga, kalau dilanggar diyakini akan memberi kesan buruk semisal proses melahirkan akan susah. Wanita hamil juga dilarang melihat kera, kerana dikhuatiri anaknya kelak akan mirip kera. Makan nasi dari dalam periuk selepas berkahwin akan membuat muka menjadi hitam.

Pantang juga berlaku bagi si suami. Bila suami pulang ke rumah malam hari saat isterinya sedang mengandung, si suami tidak boleh langsung masuk ke rumah tapi harus berhenti beberapa saat di tempat lain. Jika suami melanggar pantang tersebut maka mahkluk halus (Burong) akan ikut masuk bersamanya ke rumah dan boleh mengganggu bayi dalam kandungan. Sebelum masuk ke rumah si suami terlebih dahulu harus meludah beberapa kali di dekat pintu.

Suami juga pantang membawa pulang makanan pada larut malam bila isterinya sedang hamil tua. Jika memang harus membawa pulang makanan malam hari kerana keadaan tertentu, misalnya kerana isteri mahukannya (ngidam), maka ketika pulang ke rumah ia harus singgah beberapa saat di tempat lain yang dekat dengan rumah. Lalu ketika sampai ke rumah harus berdiri dulu beberapa saat dan meludah, tidak boleh langsung masuk ke rumah.

Makanan yang dibawakan juga harus diambil sedikit dan dilemparkan ke halaman agar jika ada mahkluk halus yang mengikutinya akan menganbil makanan itu dan tidak masuk ke dalam rumah. Bila pantangan ini dilanggar, maka dikhuatiri jika ada mahkluk halus yang mengikuti si suami akan sama-sama masuk ke dalam rumah yang boleh jadi akan menggangu bayi dalam kandungan. Pantang lain, suami juga dilarang memotong daging atau menyembelih haiwan saat istrinya hamil tua, bila pantangan ini dilanggar maka dikhuatiri anaknya akan lahir cacat.

Setelah melahirkan, bagi perempuan berlaku juga pantangan tidak boleh makan dalam pinggan. Ibu-ibu yang baru melahirkan perlu makan dalam mangkuk. Bila pantangan ini dilanggar diyakini akan membuat badan si ibu menjadi gemuk.

Pantang lain bagi perempuan adalah tidak boleh makan pisang kembar. Bila dimakan juga, dikhuatiri perempuan tersebut akan berisiko melahirkan anak kembar. Bila seorang ibu yang sedang menampi beras, pantang mengarahkan tampinya (jeuèi) ke arah bilik. Alasannya, kalau itu dilakukan maka salah seorang anaknya akan berpergian jauh.

Pantang dalam Bidang Pertanian
Dalam bidang pertanian berlaku adat pantang tidak boleh menanam tanaman buah pada pagi hingga siang hari. Melanggar pantangan ini akan membuat tanaman tersebut tidak berbuah atau biasa jadi berbuah sedikit. Ada tanaman buah tertentu yang malah disyorkan untuk di tanam malam hari. Kelapa misalnya, lebih baik ditanam malam hari ketika langit sedang cerah, dengan harapan agar berbuah banyak seperti banyaknya bintang di langit.

Waktu yang baik lain untuk menanan tanaman buah adalah ketika pulang solat hari raya, baik hari raya maupun idul adha. Saat menanan pokok tersebut mengucapkan permohonan kepada yang maha kuasa agar tanaman itu boleh berbuah banyak, seperti banyaknya orang solat di masjid.

Pantang lain, kelapa hijau yang secara tak sengaja terlubangi di bahagian lain dari hujung atas atau bawah tak boleh dimakan dan diminum airnya. Kalau dijumpai harus dielakkan, alasannya orang yang meminum airnya akan berisiko besar kehilangan nyawa akibat tusukan pedang atau terjahan peluru.

Adat pantang dalam bidang pertanian juga mengatur tentang tata cara orang bertanya tentang hasil tuaian. Dalam menanyakan hasil sesuatu pantang menanyakan dengan kata berapa banyak (padum) tapi harus ditanyakan dengan soalan sedikit (padit). Bila pantang ini dilanggar, maka hasil tuaian selanjutnya diyakini tidak akan banyak.

Kemudian selepas musim menuai padi (masa luah blang), sawah yang baru selesai dituai tidak boleh digarap untuk beberapa saat. Sawah-sawah itu harus dibiarkan begitu saja. Sawah untuk sementara menjadi milik umum. Pantang ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemilik ternakan melepaskan ternaknya ke sawah.

Tapi saat sawah mulai digarap kembali sampai tuaian lagi, tidak boleh ada satupun ternakan yang dilepaskan ke sawah. Bila pemilik sawah mencari adanya ternakan yang makan padi, seperti lembu dan kerbau, maka tanpa memberi tahu pemiliknya ia boleh membacok ternakan tersebut sebagai peringatan kepada pemiliknya. Tapi bila yang memakan tanaman itu adalah kambing atau biri-biri, maka pemilik tanah (sawah) hanya boleh melumuri sekujur tubuh ternak tersebut dengan lumpur agar pemiliknya tahu bahawa ternakan itu sudah masuk dan memakan padi di sawah seseorang. Pemilik ternakan tidak akan marah ketika mencari ternaknya seperti itu, malah ia akan malu pada masyarakat kerana lalai menjaga ternah peliharaannya.

Selain itu, pantangan lain adalah, ketika masa padi di sawah sudah ditanam sampai musim menuai, tidak boleh dilakukan penanaman batu kuburan, tidak boleh membakar kapur, juga tidak boleh menindik telinga. Bila pantang ini dilarang maka padi di ladang akan rosak dan telinga anak perempuan yang dicucuk akan berlubang besar, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masa yang diyakini tepat untuk melakukan itu adalah selepas tuaian (masa luah blang).

Adat pantang juga menetapkan hari baik untuk memulakan membajak sawah. Tarikh yang baik untuk merampas sawah menurut almanak orang tempo dulu adalah pada tarikh 6, 12, 16, 17, 22, dan 26. Tarikh yang paling baik adalah tarikh 6 kerana masih dalam permulaan bulan. Tapi dari semua tarikh baik itu, pantang memulakan merampas sawah bila jatuh pada hari Jumaat. Tidak baik memulakan pada hari Jumaat kerana, merupakan hari untuk beribadah.

Pantangan melakukan aktiviti pada hari Jumat sampai kini juga masih berlaku bagi nelayan. Pantangan ini erat kaitannya dengan Syariat Islam yang mengistimewakan hari Jumaat untuk beribadah, melanggarnya akan membawa malapetaka, sebagaimana telah menimpa kaum shabat zaman dahulu yang melanggar perintah Allah untuk tidak turun ke laut pada hari Sabtu. Kaum shabat yang melakukan kesalahan itu dikutuk menjadi kera.

Masih tentang adat pantang dalam bidang pertanian, menjual sawah, kebun atau bangunan dan barang berharga, tidak boleh dilakukan sebelum ditawarkan kepada jiran atau orang dekat. Kalau barang yang dijual berupa kebun atau sawah, maka harus terlebih dahulu ditawarkan kepada pemilik kebun atau sawah yang bersebelahan dengannya.

Ragam Pantang Lain-lain
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, ada juga pantang yang benar-benar menjadi pantangan yang dijalankan turun temurun hingga sekarang. Pantang bagi seseorang untuk makan telur yang diambil dari ayam yang sudah mati. Pantang ini dijalankan sungguh-sungguh oleh para pejuang Aceh pada masa melawan penjajahan Belanda. Penyebabnya adalah kerana ancaman kesan buruk yang ditimbulkan bila pantang itu dilarang.

Kesan buruk kalau adat pantang ini tidak diendahkan adalah bila seseorang tertembak peluru, maka segala usaha rawatan yang dilakukan untuk mengeluarkan peluru dari tubuhnya akan sia-sia. Adat pantang ini juga mengikuti ajaran agama Islam yang tidak boleh memakan sesuatu yang berasal dari bangkai.

Kemudian, daging yang dibawa pulang malam hari pantang disebut daging, tapi harus disebut ikan darat dengan menyebut jenis ikan tertentu, kalau tidak maka salah seorang ahli keluarga akan bermimpi tentang daging, mimpi yang ditamsilkan akan mendatangkan bencana. Selain itu juga pantang menceritakan mimpi gigi tercabut kepada orang lain. Bila seseorang bermimpi salah satu giginya copot, ia tidak boleh menceritakan mimpi itu pada orang lain. Alasannya, mimpi itu ditamsilkan sebagai petanda bahawa akan ada orang dekat atau keluarganya yang meninggal. Bila mimpi itu diceritakan pada orang lain, maka musibah itu diyakini akan benar-benar terjadi.

Pantang lain adalah, dilarang mencukur, mencabut gigi, menyapu dan memotong kuku pada malam hari kerana akan yang akan datang malapetaka bila melanggarnya. Selain itu juga pantang membeli jarum, paku dan garam pada malam hari kerana juga diyakini akan mendatangkan hal yang tidak baik. Tapi bila seseorang mendesak memerlukannya, ia boleh mengambilnya langsung baik di kedai mahupun di tempat jirannya dengan memberi bahasa isyarat, tanpa menyebut nama barang tersebut.

Orang tua di luar bandar juga sering mengingatkan anaknya untuk tidak membunuh bunglon. Ini merupakan pantang yang sangat dijaga oleh setiap orang tua untuk kebaikan anaknya. Alasannya, bila seseorang membunuh bunglon, maka ia akan menjadi pemalas. Tentu saja tak ada orang tua yang mahukan anaknya menjadi pemalas.

Tak jelas apakah adat pantang ini benar-benar memberikan kesan negatif seperti yang dijelaskan atau tidak. Tetapi banyak orang yang mematuhinya, apalagi masyarakat yang hidup di luar bandar dan kawasan terpinggir, yang masih memegang kuat adat dan budaya.

Selain beberapa adat pantang yang sudah kita bahas tadi, masih banyak lagi adat pantang lain yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Soal benar tidaknya akan menimbulkan kesan buruk bila melanggar adat pantang tersebut, selain belum teruji kebenarannya, juga belum terbukti kesalahannya.

Semua itu tentunya bergantung pada penilaian dan pemahaman masing-masing orang untuk percaya atau tidak. Yang jelas hal-hal yang baik yang terkandung di dalam adat pantang ini harus tetap dipelihara. Pemeliharaan yang harus dilakukan oleh kita sendiri sebagai orang Aceh, meunyo Ken Anoe leuhöp, meunyo Ken droë gob, ringkasnya, meunyo Ken droe teuh, gob peu pasai. Begitu wasiat endatu dalam hadih maja.

Jumat, 07 November 2014

Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Bangsa Jajahan

Yang diterima pakai oleh Perhimpunan Agung resolusi 1514 (XV) 14 Desember 1960

Perhimpunan Agung,
Menyedari penentuan dicanangkan oleh orang-orang di dunia dalam Piagam Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu untuk menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap kemuliaan serta nilaidiri manusia, terhadap hak samarata lelaki dan perempuan dan negara-negara besar dan kecil dan untuk memajukan perkembangan sosial dan taraf hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih luas,
Menyedari keperluan untuk mewujudkan syarat-syarat kestabilan dan kesejahteraan dan hubungan damai dan ramah berdasarkan penghormatan terhadap hak-hak asasi yang sama dan penentuan diri dari segala bangsa, dan kehormatan sejagat terhadap, serta pematuhan, hak asasi manusia dan kebebasan asasi untuk semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama,
Menyedari kerinduan yang bersemangat untuk kebebasan dalam semua masyarakat yang bergantung dan peranan yang menentukan dari orang itu dalam mencapai kemerdekaan mereka,
Satu konflik yang semakin meningkat akibat daripada penafian atau halangan di jalan kebebasan orang seperti itu, yang merupakan ancaman serius kepada keamanan dunia,
Memandangkan pentingnya peranan PBB dalam membantu gerakan kemerdekaan di Amanah dan Non-Pemerintahan Sendiri Wilayah,
Menyedari bahawa manusia di dunia rajin keinginan akhir penjajahan dalam segala manifestasinya,
Yakin bahawa kewujudan berterusan penjajahan menghalang pembangunan kerjasama ekonomi antarabangsa, menghalang pembangunan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang bergantung dan menghalangi cita-cita Bangsa-Bangsa Bersatu keamanan sejagat,
Menegaskan bahawa bangsa, demi kepentingan mereka sendiri, dapat mengelola kekayaan alam dan sumber mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi antarabangsa, berdasarkan prinsip saling menguntungkan, dan undang-undang antarabangsa,
Percaya bahawa proses pembebasan adalah sangat menarik dan tidak boleh diubah dan bahawa, untuk mengelakkan krisis yang serius, berakhir harus dihukum penjajahan dan semua amalan pengasingan dan diskriminasi yang berkaitan dengan itu,
Mengalu-alukan kemunculan pada tahun-tahun baru-baru ini sebilangan besar wilayah tanggungan ke kebebasan dan kemerdekaan, dan mengakui trend semakin kuat ke arah kebebasan di wilayah itu yang masih belum mencapai kemerdekaan,
Yakin bahawa semua orang mempunyai hak mutlak untuk menyelesaikan kebebasan, menjalankan kedaulatan dan integriti wilayah negara mereka,
Sesungguhnya mengumumkan keperluan untuk membawa kepada penjajahan akhir cepat dan tanpa syarat dalam segala bentuk dan manifestasinya;

Dan untuk tujuan ini Menyatakan bahwa:

1. penindasan orang kepada penaklukan orang asing, dominasi dan eksploitasi merupakan penafian hak-hak asasi manusia, adalah bertentangan dengan Piagam Bangsa-Bangsa Bersatu dan merupakan rintangan bagi mempromosi keamanan dunia dan kerjasama.
2. Semua orang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri; dengan hak itu mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
3. Ketidak sediaan politik, ekonomi, sosial atau pendidikan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melambatkan kemerdekaan.
4. Langkah tindakan atau represif bersenjata dari semua jenis ditujukan terhadap masyarakat yang bergantung akan berhenti untuk membolehkan mereka membuat secara aman dan bebas hak mereka untuk menyelesaikan kemerdekaan, dan keutuhan wilayah negara mereka akan dihormati.
5. Langkah yang segera harus diambil, di Amanah dan Non-Pemerintahan Sendiri Wilayah atau semua wilayah lain yang belum mencapai kemerdekaan, untuk memindahkan segala kuasa kepada orang-orang di wilayah-wilayah, tanpa apa-apa syarat atau syarat-syarat, sesuai dengan mereka secara bebas menyatakan kehendak dan keinginan, tanpa membedakan ras, kepercayaan atau warna, untuk membolehkan mereka menikmati kebebasan sepenuhnya dan kebebasan.
6. Mana-mana usaha yang mensasarkan kepada gangguan sebagian atau seluruh kesatuan negara dan keutuhan wilayah negara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam Bangsa-Bangsa Bersatu.
7. Semua Negeri hendaklah mematuhi dengan setia dan ketat peruntukan Piagam Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu, Deklarasi Hak Asasi Manusia Sejagat dan Deklarasi ini atas dasar persamaan, tidak campur tangan dalam hal ehwal dalaman semua Negara, dan menghormati hak kedaulatan dari semua bangsa dan keutuhan wilayah mereka.

Selasa, 04 November 2014

PENERANGAN NEGARA ACHEH-SUMATRA

HUKUM INTERNASIONAL
DAN
HAK MERDEKA BANGSA-BANGSA TERJAJAH
Oleh: Tengku Hasan M. Di Tiro, LL. D.
President National Liberation Front Acheh-Sumatra (ASNLF)

PENERANGAN NEGARA ACHEH-SUMATRA

1. Hukum Internasional tentang hak bangsa-bangsa yang terjajah untuk penentuan nasib mereka sendiri sudah diterangkan dengan setegas-tegasnya dalam Putusan (Resolusi) 1514 (XV) dalam sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa PBB, pada tanggal 14 Desember, 1960, dengan nama: “Pernyataan Mengenai Kewajiban Pemberian Kemerdekaan Kepada Negeri-Negeri dan Bangsa-Bangsa terjajah” (Decleration surl’octroi de l’indépenden aux pays et peuple coloniaux).
Kedudukan hukum dari resolusi ini sudah diresmikan lagi oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam keputusannya tanggal 21 Juni 1971, yang mengatakan bahwa: “ Dasar hak penentuan nasib diri-sendiri untuk segala bangsa yang terjajah dan cara-cara untuk mengakhiri dengan secepat- cepatnya segala macam bentuk penjajahan, sudah ditegaskan dalam Resolusi 1514 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB”.
(“Le principle d’autodétermination en tant que droit des peuples et son application en vue de mettre fin rapidement les situation coloniales sont enonceés dans la résolution 1514” – Court Internartional de Justice. Recueil, 1975. P. 31)

2. Artikel 5, dari Resolusi 1514 (XV) itu memerintahkan:
“Untuk menyerahkan segala kekuasaan kepada bangsa penduduk asli dari wilayah- wilayah jajahan itu, dengan tidak bersyarat apa-apapun, menuruti kemauan dan kehendak mereka itu sendiri yang dinyatakan dengan bebas, dengan tiada memandang perbedaan bangsa, agama atau warna kulit mareka, supaya mareka dapat menikmati kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna.”
(“Pour transférer tous pouvoirs aux peuples de ces territoires, sans aucune condition, ni réserve, conformément à leur voeux librement exprimés, sans aucune distinction de race, de croyance, ou de couleur afin de leur permettre de jouir d’une indépendence et d’une liberté complètes.”)
Hal ini tidak pernah dijalankan oleh penjajah Belanda di negeri-negeri kita: Acheh- Sumatra tidak dikembalikan kepada bangsa Acheh, Republik Maluku Selatan tidak dikembalikan kepada bangsa Maluku Selatan, Papua tidak dikembalikan kepada bangsa Papua, Kalimantan tidak tidak dikembalikan kepada Bangsa Kalimantan, Pasundan tidak dikembalikan kepada Bangsa Sunda, dan lain-lain sebagainya; semua negeri ini tidak diserahkan kembali kepada bangsa-bangsa penduduk aslinya masing-masing – sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Hukum Internasional dan sebagaimana yang sudah dijalankan di tempat-tempat lain di seluruh dunia- tetapi telah diserahkan bulat-bulat ketangan neo-kolonialisme Jawa dengan bertopengkan nama pura-pura “Indonesia” untuk mencoba menutup-nutupi kolonialisme Jawa.

3. Resolusi 2625 (XXV) Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, pada tanggal 24 Oktober, 1970, menguatkan lagi Keputusan-keputusan terdahulu mengenai hak merdeka dan hak penentuan nasib diri-sendiri untuk bangsa-bangsa yang terjajah, dengan:

A. Mewajibkan segala negara untuk membantu mengakhiri semua penjajahan dan membantu PBB dalam urusan ini,
B. Melarang semua negara memakai kekerasan untuk menghalangi bangsa- bangsa yang terjajah untuk mencapai kemerdekaan dan menentukan nasib diri mereka sendiri.
C. Memberi hak kepada segala bangsa yang terjajah untuk melawan segala macam bentuk kekerasan yang dipergunakan untuk menghalang-halangi hak mereka untuk menentukan nasib diri-sendiri dan merdeka, serta hak mereka untuk mendapat bantuan dunia dalam perjuangan ini.

(“Tout Etat a le devoir de s’abtenir de recourir à toute mesure de coercition qui priverait les peuples mentionnés ci-dessus dans la formulation du présent principe de leur droit à disposer d’eux-mêmes, de leur liberté et de leur indépendence. Lorsqu’ils réagissent à une tellemesure de coercition dans l’exercise de luer droit à disposer d’eux-mêmes, ces peuples sont en droit de chercher et de recevoir un appui conforme aux buts et principes de la charte de Nations Unies.”)

4. Resolusi itu juga menentukan yang bahwa semua wilayah tanah jajahan, - jadi Acheh-Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Republik Maluku Selatan, Papua, Timor, Bali, Pasundan, Jawa, dls. - Semuanya mempunyai kedudukan hukum yang terpisah dari satu sama lainnya. Dan dari negara penjajahannya sendiri (Belanda/Portugis), dan juga mempunyai kedudukan yang terpisahkan dari tempat kedudukan pemerintah penjajahan itu sendiri, jadi walaupun Belanda “memusatkan” pemerintah kolonialnya di Jawa, perbedaan dan perpisahan status- hukum, antara jawa dengan pulau-pulau “ seberang lautan” itu tetap kekal dan abadi, dan tetap dijamin kekalnya oleh Piagam PBB, selama bangsa-bangsa asli, penduduk wilayah-wilayah itu dan pulau-pulau itu belum mendapat kesempatan untuk menjalankan hak penentuan nasib diri-sendiri mereka menurut aturan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(“Le territoire d’une colonie ou un autre territoire non autonome possède, en vertu de la Charte, un statut séparé et distinct de celui du territoire de l’Etat qui l’administre; ce statut séparé et distinct en vertu de la Charte existe aussi longtemps que le peuple de la colonie ou du territoire non autonome n’exerce pas son droit à disposer de lui-même conformément à la Charte des Nations-Unies et, plus particulièrement, à ses buts et principes.”)
Hukum Ini juga memberi kewajiban kepada negara-negara ketiga yang tidak langsung terlibat dalam penjajahan, untuk menjalankan tugas mereka sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu perjuangan kemerdekaan yang dipertanggungjawabkan atas mereka oleh Piagam PBB dan Resolusi-Resolusi yang bersangkutan dengan penghapusan penjajahan dan segala rupa bentuk jelmaannya.

5.Mahkamah Internasional dalam pemandangan Kehakimannya yang dikeluarkan pada tanggal 16 Oktober, 1975, telah menyatakan ada tiga jalan, yang menurut hukum, bagi negeri-negeri atau wilayah-wilayah yang masih terjajah untuk menjalankan hak penentuaan nasib diri-sendiri mereka, yaitu;

A. Menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat;
B. Dengan bebas memilih untuk berserikat dengan sesuatu negara lain yang sudah merdeka;
C. Dengan bebas memilih untuk memasukkan dirinya kedalam salah satu negara lain yang sudah merdeka;

(“Pour un territoire non autonome d’atteindre la pleine autonomie, il peut; a. devenir un Etat indépendence et souverain; b. s’associer librement à un Etat Indépendant; c. s’intégrer à un Etat indépendant.”)
Jajahan-jajahan Belanda di Asia Tenggara ini sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk dengan bebas memilih salah satu diantara jalan-jalan yang disebut diatas. Kita tidak pernah diberikan kesempatan untuk merdeka dan berdaulat sendiri – sebagaimana sepatutnya. Dan kita tidak pernah ada pula diadakan pemilihan bebas untuk masuk kebawah telapak kaki penjajahan Jawa.

Apa yang terjadi kemudian ialah kita sudah diseret dengan paksa kedalam neo- kolonialis Indonesia Jawa.
Juga sesudah ternyata bahwa wilayah-wilayah jajahan Belanda seperti Acheh- Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, yang mempunyai status yang jelas dalam Hukum Internasional sebagai wilayah- wilayah jajahan yang terpisah satu sama lainnya dan karena berpisah-pisahan itu dan yang nasibnya berlainan, maka harus ditentukan sendiri oleh masing-masing bangsa asli yang bersangkutan, sampai sekarang mereka belum merdeka sebab semua dengan serta merta dan dibawah paksaan senjata sudah dimasukkan kedalam penjajahan Jawa yang bertopengkan yang bernama “ bangsa” pura-pura “ Indonesia” . Bangsa-bangsa Acheh-Sumatera, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Sunda, Bali, dsb, tidak pernah diberikan kesempatan untuk menjalankan hak penentuan nasib diri-sendiri untuk memilih antara merdeka kembali seperti dahulu kala seperti sejarah mereka sebelum Belanda datang, atau memang mau menjadi jajahan “ Indonesia” Jawa. Pemilihan yang jujur untuk menentukan nasib diri-sendiri pada bangsa-bangsa ini tidak pernah diadakan sebagaimana yang sudah ditentukan oleh aturan-aturan Hukum Internasional.
Penyerahan kedaulatan atas Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, oleh Belanda kepada “Indonesia” Jawa adalah tidak sah sama sekali menurut Hukum, sebab Belanda, sebagai bangsa penjajah, tidak mempunyai hak daulat atas tiap-tiap negeri yang dijajahnya. Kedaulatan atas tiap-tiap negeri dan wilayah-wilayah jajahan itu tetap berada ditangan bangsa asli penduduk negeri dari wilayah itu sendiri dan tidak dapat dipindah- pindahkan atau diserah-serahkan oleh siapapun atau kepada siapapun juga. Hak kedaulatan atas Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, tetap dalam tangan bangsa-bangsa dan negeri-negeri itu sendiri – bukan ditangan bangsa Jawa!- dan tidak dapat diserahkan oleh Belanda kepada Jawa, karena Belanda sendiri tidak pernah memilikinya. Karena itu kekuasan Jawa sekarang di Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, tidak mempunyai dasar hukumnya, tidak sah dan illegal.

Walaupun tentara Jawa dan boneka-bonekanya sekarang menduduki Acheh- Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls, pendudukan tersebut tidak melegalkan penjajahan Jawa. Sah atau tidaknya pendudukan sesuatu wilayah oleh sesuatu tentara pendudukan tergantung pada bagaimana asal-usulnya pendudukan itu sendiri terjadi. Jelaslah sudah, pendudukan Jawa berasal dari pendudukan Belanda yang berasal dari perang konial atas kita. Kemudian oleh Belanda, negeri-negeri kita diserahkannya kepada Jawa. Jadi pendudukan Jawa sama tidak sahnya dan sama illegalnya sebagai pendudukan Belanda. Ex injuria jus non oritur. Hukum tidak bisa berasal dari perbuatan yang tidak berdasar hukum.

6. Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri sudah membuat sebuah Program untuk memerdekakan bangsa-bangsa yang terjajah sebagaimana yang terdapat dalam keputusan 2621 (XXV) tanggal 12 Oktober 1970, dimana penjajahan dinamakan sebagai satu “ kejahatan Internasional” dan “ kepada bangsa-bangsa yang terjajah” – seperti kita bangsa-bangsa Acheh-Sumatra, Sulawesi, Republik Maluku Selatan, Papua, Kalimantan, Pasundan, dls. – “ Diberikan hak mutlak untuk melawan sipenjajah mereka dengan segala cara yang diperlukan.” (“Le droit inhérent des peulpes coloniaux à lutter par tous les moyens necessaires.”)

7. Dalam keputusan 3314 (XXIX), tanggal 14 Desember, 1974, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang semua negara menggunakan kekerasan terhadap bangsa-bangsa yang menuntut hak penentuan nasib diri-sendiri mereka. Resolusi ini menegaskan:
“Kewajiban negara-negara supaya tidak mempergunakan senjata untuk menindas hak bangsa-bangsa yang sedang menentukan nasib diri-sendiri dan hak kemerdekaan serta kesatuan wilayah mareka itu.” (“Le devoir des Etats de ne utilizer les armes pour priver les l’indépendance ou pour violer l’intégriter mination, à la liberté et à l’indépendance ou pour violer l’intégrité territorial.”) Bandingkan ini dengan kekejaman oleh Jawa yang telah membunuh para pejuang-pejuang kemerdekaan di Acheh-Sumatra, Papua, Republik Maluku Selatan, Sulawesi, Timor Leste dan sebagainya.

8. Artikel 9 dari resolusi diatas berkata lagi: “ Tidak ada suatupun dalam ketentuan ini yang dapat mengurangi kemutlakan akan hak penentuan nasib diri-sendiri, dan hak kebebasan dan kemerdekaan daripada bangsa-bangsa yang hak mereka telah dirampok…..lebih-lebih bangsa-bangsa itu masih dibawah kekuasaan pemerintah kolonial yang rasis (seperti”Indonesia” Jawa) atau dibawah kekuasaan bangsa luar lainnya. Bangsa-bangsa yang masih terjajah ini mempunyai hak mutlak untuk berjuang melawan sipenjajahnya untuk mencapai kemerdekaan dan berhak mencari dan menerima bantuan dan sokongan untuk kemerdekan dan kebebasan mareka, maksud ini sesuai dengan dasar-dasar Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).”
(“Rien dans la présente définition ne pour porter préjudice au droit à l’autodétermination, à la liberté et à l’indépendance des peuples privés de ce droit… particulièrement les peuples sous la domination desrégimes coloniaux et rasistes et sous d’austres forms de domination étrangère, ni au droit de ces peuples de lutter à cette fin et de rechercher et de recevoir un appui à cette fin, en accord avec les principes.”)

9. Dan oleh Mahkamah Tetap Bangsa-Bangsa (Tribunal Permanent des Peuples), Roma, dalam Keputusannya, pada tanggal 11 November, 1979, sudah menyatakan yang bahwa pejuang-pejuang kemerdekaan yang berperang mengusir tentara-pendudukan asing dari bumi mereka (Seperti tentara- pendudukan Jawa di Acheh-Sumatra, Papua, Republik Maluku Selatan, Sulawesi, Kalimantan, dls) mempunyai hak untuk dilindungi keselamatan mereka oleh Geneva Convention (Perjanjian Genewa) tahun 1949, yang diperbaharui lagi pada tahun 1977, nyakni jika pejuang-pejuang ini tertangkap atau tertawan, mereka harus diperlukan sebagai tawanan perang dari negara-negara berdaulat yang mempunyai perlindungan hukum, walaupun di medan perang, mereka tidak boleh dianiaya, hanya boleh ditanya nama dan pangkatnya saja.

10.DENGAN INI KITA SERUKAN kepada saudara-saudara kita Bangsa Sulawesi, Bangsa Maluku Selatan, Bangsa Kalimantan, Bangsa Sunda, Bangsa Bali, Bangsa Papua, dls, untuk segera bangun dari tidur dan berdiri menyatakan kemerdekaan dari penjajah Jawa yang sedang memeras bangsa dan kekayaan alam saudara- saudara. Mengikuti jejak bangsa Acheh-Sumatra, Bangsa Maluku Selatan, Bangsa Papua, Bangsa Timor Leste dan mengikuti semua bangsa-bangsa maju dan terhormat lainya di dunia yang sudah dan sedang berjuang untuk kemerdekaan mereka! Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Charter), Pernyataaan Umum Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) telah mengakui hak setiap bangsa untuk merdeka, dan hak setiap bangsa atas kekayaan alamnya, atas kehidupan ekonominya, kebudayaanya, dan ke- agama-annya. Di tanah air kita, hak-hak ini semua sedang diperkosa oleh penjajah neo-kolonialis Jawa untuk kepentingan mereka. Dunia yang beradab dan sudah membuka pintu kemerdekaan selebar-lebarnya kepada kita: tinggal saudara-saudara sendirilah yang harus bangun dari tidur dan mengambil langkah keluar dari kegelapan penjara penjajahan Jawa yang rakus, serakah dan brutal. Melalui pintu terbuka ini kita sama-sama menuju ke-alam kemerdekaan, kemakmuran dan kebebasan yang sejati, untuk kepentingan bangsa saudara masing-masing, dan supaya kita bisa duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan segala bangsa-bangsa lain di dunia merdeka dalam abad ke-21 ini!

Disalin Kembali oleh: Adnan Daud - pada tanggal 23/01/2012.
Dicopy dan dipublikasi Oleh: Abu Singa.
Sumber asal: ARSIP NEUGARA.
Mesin Carian: www.asnlf.org